Reformasi
Pola Pikir Masyarakat Menuju Pembungunan yang Berkeadilan
Oleh
Ramadhan
NPM. 1402120205
ABSTRAK
Kesabaran
dan ketekunan untuk melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi
(jika tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi
masih sangat dibutuhkan. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai isu
reformasi administrasi publik menjadi relevan. Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat
merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung-jawab
masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki
mutu hidup mereka. Melalui partisipasi yang diberikan masyarakat, disadari
bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilaksanakan
pemerintah, namun juga menuntut keterlibatan masyarakat yang ingin memperbaiki
mutu hidupnya. Kemajuan pola
pikir masyarakat dan pertumbuhan proses demokrasi sebagai
sistem politik dan kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang
dianut oleh kebanyakan negara bangsa saat ini, telah mendorong pada terjadinya formulasi
kekuasaan yang
semula cenderung otoriter dan mengenyampingkan kepentingan rakyat, secara perlahan membuat kedaulatan rakyat mulai membalikkan fakta
hegemoni kekuasaan pemerintah
kepada kekuasaan rakyat, pemerintah yang
hendak nyaman dengan kekuasaannya terpaksa atau
tidak
harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat dengan program dan kinerja
yang transparan,
profesional, dan akuntabel.
Kata Kunci : Reformasi Pola Pikir Masyarakat Menuju Pembangunan yang
Berkeadilan.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kemajuan pola
pikir masyarakat dan pertumbuhan proses demokrasi sebagai
sistem politik dan kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang
dianut oleh kebanyakan negara bangsa saat ini, telah mendorong pada terjadinya formulasi
kekuasaan yang
semula cenderung otoriter dan mengenyampingkan kepentingan rakyat, secara perlahan membuat kedaulatan rakyat mulai membalikkan fakta
hegemoni kekuasaan pemerintah
kepada kekuasaan rakyat, pemerintah yang
hendak nyaman dengan kekuasaannya terpaksa atau
tidak
harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat dengan program dan kinerja
yang transparan,
profesional, dan akuntabel.
Dalam kaitan itu reformasi bangsa Indonesia yang diusung
kalangan mahasiswa,
telah mewarnai
pendayagunaan aparatur
negara
dengan tuntutan
untuk mewujudkan administrasi pemerintahan yang
mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan
fungsi
penyelenggaraan
pemerintahan negara
dan pembangunan, dengan mempraktikkan prinsip good
governance. Selain itu, masyarakat menuntut
agar pemerintah
memberikan
perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu
menyediakan pelayanan publik yang
lebih baik dan kebutuhan
dasar yang diharapkan masyarakat (Sedarmayanti, 2003: 2).
Tuntutan tersebut setidaknya didasari oleh adanya fenomena
menurunnya kualitas moral bangsa yang diindikasikan oleh membudayanya praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), lemahnya
penegakan hukum, lemahnya komitmen
dan
kinerja aparatur pemerintahan dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik,
menyebabkan bangsa Indonesia mengalami
krisis multidimensi sejak 1997 yang
hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian
secara tuntas
(Megawangi,
2004: 3). Dalam kaitan
ini Mardiasmo (2004: 1) menjelaskan bahwa
Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda
bangsa Indonesia memberikan dampak
positif dan negatif bagi upaya peningkatan
kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Di
satu sisi, krisis tersebut telah membawa
dampak yang luar
biasa pada tingkat kemiskinan,
namun di sisi yang
lain,
krisis
tersebut dapat juga memberi “berkah tersembunyi”
(blessing in disguised) bagi upaya
peningkatan tarap hidup seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Mengapa? Karena krisis yang dialami
tersebut, telah mendorong
terjadinya reformasi total bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Tema sentral reformasi adalah
mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good
governance,
dan mengembangkan model
pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu,
reformasi juga telah
memunculkan
sikap keterbukaan
dan fleksibilitas sistem politik dan
kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses
pembangunan
dan
modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan
paradigma di berbagai
bidang kehidupan
(Mardiasmo, 2004).
Isu good governance dan demokrasi memasuki arena
perdebatan
pembangunan di Indonesia didorong
oleh adanya dinamika yang
menuntut
perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun
di sisi warga. Ke depan
pemerintah dan pemimpin
politik diharapkan menjadi lebih demokratis,
efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan fungsi pelayanan
publik, lebih tanggap serta mampu menyusun
kebijakan, program dan hukum
yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan dengan harapan itu, warga juga diharapkan untuk menjadi warga yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama,
bersedia berpatisipasi
aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan
untuk berurusan
dengan pemerintah dan institusi publik lainnya,
tidak
apatis, serta
tidak mementingkan
diri sendiri. Governance (kepemerintahan) merupakan suatu mekanisme atau tata cara
penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah bersama warga masyarakat dalam mengatur sumber
daya publik dan memecahkan masalah-masalah publik yang
dihadapi. Ini berarti kerja sama dan sinergi antara pemerintah sektor swasta dan
masyarakat (civil society) dalam pengelolaan sumber
daya
publik perlu mendapat
perhatian dan menjadi tanggung
jawab bersama, karena itu pemerintah harus bisa mendorong dan memfasilitasi
terciptanya lingkungan yang kondusif bagi terbangunnya partisipasi
aktif
warga masyarakat dalam
proses pembangunan (Sumarto,
2009: 1).
Jadi pemerintah dalam hal ini lebih sebagai fasilitator yang mendorong dan
mengarahkan masyarakat (civil society) dan sektor
swasta untuk ikut serta
secara aktif dalam proses pembangunan, mulai dari
perumusan visi, perencanaan, serta pelaksanaannya,
seperti dalam hal bagaimana masyarakat ikut
memikirkan dan
B.
Permasalahan
Identifikasi masalah di sini dimaksudkan
untuk memudahkan peneliti dalam memetakan
permasalahan dan mensintesis pengetahuan
yang dapat membantu peneliti
dalam membahas dan memecahkan masalah,
baik berupa pelurusan konsep, saran tindakan
yang harus ditempuh, atau
pelurusan nilai-nilai yang diyakini
masyarakat.
Menurut Alwasilah (2008: 80) ada tiga faktor yang
memunculkan suatu persoalan yaitu, konsep, data empirik dan pengalaman. Dari persoalan konsep muncul
conceptual problem, dari persoalan
data empiris lapangan muncul action
problem, dari persoalan pengalaman muncul
value problem.
Masalah yang
dimaksud dalam disertasi ini adalah kesenjangan antara apa
yang nyatanya ada, yakni pelaksanaan
dan praksis
penguatan kepemerintahan daerah yang baik
dengan kerangka konseptual good governance dan pembudayaan nilai-nilai
demokrasi dalam konteks kinerja aparatur
pemerintah
daerah dan peran civil society yang
seyogianya berlangsung. Dari berbagai fenomena yang
ada dapat diidentifikasi beberapa masalah yang dianggap esensial
dan menarik untuk diteliti,
sebagai berikut;
1.
Fenomena kesenjangan sosial
ekonomi,
lambannya pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat, lemahnya tingkat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat masih menjadi bagian
kursial yang
dihadapi dalam pelaksanaan kepemerintahan daerah.
2.
Fenomena kerja
sama, kordinasi, dan sinergitas dalam pengelolaan sumber daya daerah yang
masih menunjukkan kesenjangan antara otoritas
pemerintah daerah
di satu sisi dengan peran civil
society di sisi yang lain.
3.
Fenomena kinerja aparatur birokrasi dan peran civil society yang
terkesan lebih formalistis
dan prosedural ketimbang substansi.
Reformasi
mencakup berbagai aspek kehidupan kenegaraan secara total dan fundamental.
Hakikat reformasi merupakan upaya bangsa yang perlu dilakukan tanpa henti untuk
selalu mencari dan menemukan format baru di berbagai bidang kehidupan dalam
rangka menyempurnakan kualitasnya. Secara fundamental reformasi merupakan pola
pikir utama, untuk mengubah pola pikir yang keliru, yang perlu direvisi menuju
ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai dengan cita-cita dan kepentingan
masyarakat dan bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Reformasi
1.
Pengertian
Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan
perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan baru yang secara hukum menuju
ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998
merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan prubahan terutama
perbaikan dalam bldang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan.
2.
Tujuan
Reformasi
Melihat situasi politik dan kondisi ekonomi
yang semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis, bahwa
Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru tidak berhasil menciptakan negara
yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Atas
kesadaran itu, rakyat secara bersama-sama dengan dipelopori oleh mahasiswa dan
para cendekiawan mengadakan suatu gerakan yang dikenal dengan nama Gerakan
Reformasi.
Tujuan gerakan reformasi secara umum adalah
memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial agar sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Secara khusus, tujuan gerakan reformasi, antara lain:
a.
Reformasi
politik bertujuan tercapainya demokratisasi.
b.
Reformasi
ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.
d.
Reformasi
sosial bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia.
3.
Faktor
Pendorong Reformas
Faktor pendorong terjadinya reformasi di
Indonesia terutama terletak pada bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
a.
Faktor
Politik
Faktor dalam bidang politik yang mendorong munculnya reformasi di
Indonesia antara lain:
·
Adanya
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan. Adanya rasa
tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme
serta merajalelanya korupsi.
·
Kekuasaan
Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup.
·
Adanya
keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
·
Mahasiswa
menginginkan perubahan.
b.
Faktor
ekonomi
Faktor dalam bidang ekonomi yang mendorong munculnya reformasi di
Indonesia antara lain:
·
Adanya
krisis mata uang rupiah.
·
Naiknya
harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
·
Sulitnya
mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
c.
Faktor
Hukum
Faktor dalam bidang hukum yang mendorong munculnya reformasi di
Indonesia adalah belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di
antara warga negara.
d.
Faktor
Sosial
Faktor dalam bidang sosial yang mendorong munculnya reformasi di
Indonesia adalah adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan
perekonomian rakyat.
4.
Agenda
Reformasi
Pada dasarnya agenda reformasi yang dituntut
oleh mahasiswa meliputi reformasl politik, ekonomi, dan hukum.
a.
Agenda Reformasi
Politik
Inti agenda reformasi politik adalah demokratisasi, mengembalikan dan
melaksanakan kedaulatan rakyat. Agenda reformasi politik yang dituntut
mahasiswa antara lain:
1)
Penghapusan
lima paket undang-undang politik yang menimbulkan ketidakadilan, antara lain:
a)
UU No.
1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
b)
UU No.
2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR.
c)
UU No.
3 Tahun 1985 tentang Partal Politik dan Golongan Karya.
d)
UU No.
5 Tahun 1985 tentang Referendum.
e)
UU No.
8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
2)
Reformasi
di bidang ideologi negara dan konstitusi.
3)
Pemberdayaan
DPR, MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar
melaksanakan fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan
langkah sebagai berikut:
a)
Anggota
DPR harus benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
b)
Perlu
diadakan perubahan tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
c)
Memperdayakan
MPR.
d)
Perlu
pemisahan jabatan ketua MPR dengan DPR.
4)
Reformasi
lembaga kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut:
a)
Menghapus
kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan instruksi
presiden.
b)
Membatasi
penggUnaan hak prerogatif.
c)
Menyusun
kode etik kepresidenan.
5)
Pembaharuan
kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik untuk menegakkan
kedaulatan rakyat dengan mengembangkan sistem multipartai yang demokratis tanpa
intervensi pemerintah.
6)
Penyelenggaraan
pemilu yang luber, jujur, dan adil
7)
Birokrasi
sipil mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang_netral dan profesional
yang tidak memihak.
8)
Militer
dan dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran sosial politik secara
bertahap sampai akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI berkonsentrasi pada
fungsi hankam.
9)
Sistem
pemerintah daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi daerah dengan asas
desentralisasi.
10) Terjaminnya kebebasan berbicara serta
mengeluarkan pendapat bagi rakyat termasuk kebebasan pers.
b.
Agenda
Reformasi Ekonomi
Ketidakadilan dalam bidang ekonomi menyebabkan tuntutan adanya reformasi
ekonomi. Agenda reformasi ekonomi, antara lain:
1)
Penyehatan
ekonomi dan kesejahteraan pada bidang perbankan, perdagangan, dan koperasi
serta pinjaman luar negeri untuk perbaikan ekonomi.
2)
Penghapusan
monopoli dan oligopoli dalam kegiatan ekonomi
3)
Mencari
solusi yang konstruktif dalam mengatasi utang luar negeri.
4)
Penurunan
harga-harga terutama harga sembilan pokok (sembako)
5)
Menciptakan
stabilitas nilai tukar rupiah untuk mencegah terjadinya krisis moneter.
c.
Agenda
Reformasi Hukum
Adanya ketidakadilan dalam peradilan menimbulkan tuntutan reformasi
hukum. Agenda reformasi hukum, antara lain:
1)
Terciptanya
keadilan hukum atas dasar hak asasi manusia (HAM).
2)
Dibentuk
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan reformasi.
3)
Penegakan
subpremasi hukum karena semua warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan
pemerintahan.
B. Permasalahan
1. Permasalahan
Dalam Pemerintahan Menuju Pembangunan Yang Berkeadilan
Governance (kepemerintahan) merupakan suatu mekanisme atau tata cara
penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah bersama warga masyarakat dalam mengatur sumber
daya publik dan memecahkan masalah-masalah publik yang
dihadapi. Ini berarti kerja sama dan sinergi antara pemerintah sektor swasta dan
masyarakat (civil society) dalam pengelolaan sumber
daya
publik perlu mendapat
perhatian dan menjadi tanggung
jawab bersama, karena itu pemerintah harus bisa mendorong dan memfasilitasi
terciptanya lingkungan yang kondusif bagi terbangunnya partisipasi
aktif
warga masyarakat dalam
proses pembangunan (Sumarto, 2009: 1).
Jadi pemerintah dalam hal ini lebih sebagai fasilitator yang mendorong dan
mengarahkan masyarakat (civil society) dan sektor
swasta untuk ikut serta
secara aktif dalam proses pembangunan, mulai dari
perumusan visi, perencanaan, serta pelaksanaannya,
seperti dalam hal bagaimana masyarakat ikut
memikirkan dan
berpartisipasi aktif merumuskan sistem pendidikan,
pembangunan ekonomi,
pemberdayaan masyarakat, penataan ruang, tatakelola lingkungan, penciptaan
kedamaian dan penegakan hukum di laksanakan secara
partisipatif, terbaik dan bertanggung
jawab oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan ikut
bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan
dan pencapaian tujuan pembangunan. Karena itu Governance
menuntut redefinisi peran negara
(pemerintah), sekaligus juga redefinisi pada peran warga
(civil society).
Jadi ada
tuntutan besar pada warga, antara lain untuk ikut berperanserta dalam
pembangunan dan memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri
(Sumarto, 2009:1).
Bersamaan dengan kompetisi dunia menumbuhkan kembali semangat demokratisasi, pengalaman sejarah mengajak
bangsa Indonesia mencoba
menggunakan “Demokrasi
Terbuka” sejak
tahun
1998
yang merupakan
momentum baru
dalam sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia dengan
dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI 1945), dan ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Atas dasar
UU tersebut maka
daerah diberikan kewenangan untuk mengatur
dan
mengurus sendiri urusan daerahnya sesuai asas otonomi dan tugas
pembantuan dalam konteks negara
Kesatuan Republik Indonesia,
agar
daerah bisa lebih memacu diri dalam proses percepatan
perwujudan
kesejahteraan masyarakat,
penciptaan
daya saing daerah dan
pertumbuhan proses
demokratisasi.
Dalam suasana
otonomi daerah proses demokratisasi ternyata
masih juga diwarnai
perilaku
masyarakat yang
cenderung pada
fragmentasi kepentingan politik yang bersifat sesaat, demikian halnya penyelenggaraan kepemerintahan
daerah masih sering diperhadapkan dengan mental dan perilaku aparatur yang kurang baik seperti KKN, kurang
responsif dan transparan, kurang kerja sama dengan civil
society,
2. Pola
Pikir Masyarakat Menuju Pembangunan Yang Berkeadilan
Salah satu upaya yang dapat
ditempuh bagi perbaikan
dan penguatan tatanan
kehidupan bangsa yang
baik dan demokratis, adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan
kewarganegaraan menempati posisi yang amat
penting dan strategis karena PKn merupakan suatu program pendindikan yang dirancang
untuk mengemban misi membentuk kepribadian bangsa, yakni sebagai
upaya
sadar dalam “nation and caracter building,”
dengan tujuan terwujudnya partisipasi penuh nalar dan bertanggung
jawab dalam kehidupan
politik warga negara yang taat pada nilai-nilai
dan prinsip demokrasi
konstitusional Indonesia (Winataputra & Budimansyah, 2007: 1). Misi dan tujuan tersebut seterusnya
dikembangkan bersama secara kolaboratif oleh sekolah, orang tua, masyarakat dan
pemerintah dalam domain
kurikuler, akademik,
dan sosial kultural yang diorganisasi secara lintas bidang
keilmuan di mana isi dan prosesnya dikaitkan
dengan kehidupan
nyata, yang
difasilitasi melalui proses pembelajaran yang bersifat demokratis
dan partisipatif.
Jadi pihak sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam hal ini tidak dapat diletakan dalam dua kutub yang
terpisah dengan siswa dan mahasiswa
sebagai generasi muda di sisi yang
lain, tetapi harus diletakan dalam kedudukan
yang sama sebagai warga negara yang
saling mengisi dan menguatkan dalam memanifestasi karakter-karakter positif kewarganegaraan. Secara
spesifik domain kurikuler dan akademik PKn lebih banyak diperankan oleh pihak sekolah/dunia kampus dan tentunya dengan
selalu mempertimbangkan
dinamika kehidupan
sosial yang berkembang, intinya di sini adalah transfer pengetahuan dan nilai untuk
membentuk kompetensi warga negara, sementara domain sosial kultural
PKn
lebih banyak menemukan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembang
pada
peran orang tua,
masyarakat dan terlebih pemerintah, intinya adalah
lebih
pada value aktion, tindakan dan keterampilan
untuk mengekspresikan dan mewujudkan
nilai-nilai atau akhlak
kewarganegaraan (civic virtu), rasa tanggung jawab warga
negara (civic responsibility), pola-pola hubungan kerja sama warga negara (civic disposition) dalam
berbagai dimensi
kehidupan
masyarakat dan dalam penatakelolaan
pemerintahan.
Dalam konteks
ini maka pendidikan kewarganegraan akan berkontribusi
positif bagi pembentukan civic governance, di mana perannya saat ini semakin
terasa diperlukan bersamaan dengan adanya kompleksitas problem kehidupan
bangsa yang menyertai perubahan sistem pemerintahan sentralistik ke desentralistik yang menghendaki
diwujudkannya tatakelola kepemerintahan
daerah yang baik
dan
demokratis dengan tingkat
partisipasi masyarakat yang
tinggi penuh nalar dan
bertanggung jawab, namun pada tataran implementasi
fenomenanya memberikan isyarat bahwa kinerja aparatur dan peran civil society dalam
penyelenggaraan kepemerintahan daerah belum
memberikan harapan yang menggembirakan.
Sistem pemerintahan yang demokratis pada esensinya adalah suatu sistem
kekuasaan pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan dilakukan
untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian sumber
otoritas dan kewenangan mengatur
pemerintahan berasal dari rakyat, jadi rakyatlah yang menjadi sentrumnya, dan solusi terbaiknya adalah
desentralisasi.
Desentralisasi yang memberikan
peran
otonomi yang
lebih luas kepada pemerintah daerah merupakan penekanan perubahan paradigma dalam tata kepemerintahan daerah yang baik (good governance).
Kondisi tersebut
memberikan peluang sekaligus tantangan
yang
menekankan perlu
adanya kemampuan
suatu daerah dalam menetapkan strategi
tepat mengelola sumber
daya
daerah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Daerah harus
mampu mengeksplorasi
dan
mengetahui potensi yang perlu dikembangkan bagi kepentingan daerah. Menurut Muhaimin Iskandar
(Menakertrans) dalam (Harian Merdeka, 3-12-2012)
Setiap daerah dituntut menciptakan iklim usaha yang kondunif
yang dapat
menciptakan ide-ide
baru,
perbaikan-perbaikan yang dapat mendorong tumbuhnya
usaha-usaha baru,
lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan.
Saat ini, ada
lima
belas hambatan menciptakan iklim ekonomi yang kondunsif
di
Indonesia. Antara lain; birokrasi
yang tidak efisien,
keterbatasan infrastruktur,
ketidakstabilan kebijakan, korupsi, dan akses ke
sumber dana. Selain itu beberapa kelemahan yang
ada dalam meningkatkan daya saing
daerah juga dapat disebabkan belum adanya profesionalisme,
keterbatasan
kemampuan
SDM dalam menetapkan strategi bersaing, lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama di antara
pemerintah, sektor swasta,
lembaga nonpemerintah, di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota,
infrastruktur yang
tidak mendukung
potensi daerah, minimnya kerja sama
antara daerah serta arah dan kebijakan pembangunan yang cenderung “ego
daerah”.
Karena itu upaya yang
dilakukan pemerintah daerah harus lebih konkrit dan terukur, dan ukuran keberhasilannya Menurut Muhaimin adalah meningkatnya
laju pertumbuhan ekonomi serta
kualitas hidup masyarakat dan dinamisasi
kehidupan sosial dari waktu-ke waktu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terakhir
bahwa syarat yang juga penting adalah struktur dan kultur birokrasi di
Indonesia harus mau berubah dan berinovasi. Kesabaran dan ketekunan untuk
melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi (jika tidak dapat menghindari)
biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi masih sangat dibutuhkan. Dalam
kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai isu reformasi administrasi publik
menjadi relevan.
Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi
masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta
tanggung-jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk
memperbaiki mutu hidup mereka. Melalui partisipasi yang diberikan
masyarakat, disadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang
harus dilaksanakan pemerintah, namun juga menuntut keterlibatan masyarakat yang
ingin memperbaiki mutu hidupnya.
Secara umum yang sering menyebabkan tidak
tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dikarenakan
masyarakat hanya diminta untuk berpartisipasi dalam memberikaninput, tanpa
mengetahui dengan jelas tentang manfaat yang akan diperoleh dan dirasakan baik
secara langsung ataupun secara tidak langsung. Selain itu, masyarakat
tidak atau kurang informasi yang jelas tentang kesempatan yang disediakan untuk
berpartisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan. Dengan demikian,
pemberian kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, harus dilandasi
pemahaman bahwa masyarakat layak diberi kesempatan, karena memiliki kemampuan
yang diperlukan, dan masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dan
memanfaatkan setiap kesempatan membangun guna perbaikan mutu/kualitas
kehidupannya.
B.
Saran
Hal
yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional
yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki. Mekanisme
perencanaan bottom-up atau lebih banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat
sipil untuk berperan aktif dalam kegiatan pembangunan dan proses reformasi
administasi itu sendiri, dapat terus dijalankan bukan sekedar basa-basi atau
mencari legitimasi.
Daftar Pustaka
Kaloh
J. 2003. Kepala Daerah: Pola Kegiatan dan
Kekuasaan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Pasolong,
Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Santosa.
Pandji. 2009. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: Aditama.
http://diklat2.jatengprov.go.id/partisipasi-masyarakat-dalam-pembangunan-ir-enny-karnawati-msi
0 Response to "Makalah Reformasi Pola Pikir Masyarakat Menuju Pembungunan yang Berkeadilan"
Post a Comment