BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi umat Islam mengkonsumsi makanan yang halal dan
thoyib merupakan bagian dari perintah agama. Demikian juga meninggalkan makanan
yang haram adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kesadaran
masyarakat muslim terhadap perkara yang wajib ini tak perlu dipertanyakan lagi,
karena sudah menjadi suatu pedoman hidup. Sebagai konsumen produk pangan, sudah
seharusnya umat Islam mendapatkan jaminan dari para produsen atas kehalalan
produk-produk pangan yang beredar di komunitas muslim. Faktanya, Konsumen sulit
untuk mengetahui apakah suatu produk mengandung bahan haram ataukah tidak,
kecuali bila produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari lembaga
berwenang di dalam atau di luar negeri. Meski begitu, tidaklah berarti produk
tak bersertifikat halal semuanya mengandung bahan haram. Selain produk pangan,
ada produk lainnya yang status kehalalannya belum menjadi perhatian masyarakat
yaitu produk obat-obatan, khususnya obat yang digunakan dengan cara ditelan
atau diminum. Hingga saat ini penulis belum pernah melihat obat resep dokter
yang berlabel halal. Bagaimanapun juga obat yang ditelan pada hakekatnya adalah
makanan. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh para perintis ilmu kedokteran
seperti Hipokrates ataupun Ibnu Sina (Avisena) bahwa obat adalah makanan dan
makanan pun adalah obat. Jelas sekali obat dan makanan adalah dua hal yang
tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu maka status kehalalan obat-obatan
terutama yang ditelan adalah wajib adanya bagi kaum muslim. Sekarang ini untuk
produk minuman dan makanan olahan, sertifikasi kehalalannya sudah diatur
melalui Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1996. Sertifikat halal ini diberikan
setelah suatu produk pangan diperiksa oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), melalui proses audit yang ketat
dalam hal asal-usul bahannya, komponen campurannya maupun proses produksinya.
Namun, sayang sekali pada prakteknya sertifikasi halal produk pangan ini tidak
diwajibkan kepada tiap produsen, tetapi hanya bersifat sukarela bergantung
kepada kemauan produsen apakah mau ataukah tidak untuk mendapatkan sertifikat
halal. Dan yang lebih disayangkan lagi adalah karena sertifikasi halal ini
belum menyentuh kepada produk obat-obatan resep dokter. Sepertinya masyarakat
kita sampai saat ini masih sangat-sangat permisif terhadap status halalnya
obat-obatan, meskipun di dalamnya mungkin terdapat bahan-bahan yang berasal
dari barang yang haram, misalnya babi. Sikap permisif ini barangkali karena
adanya pemahaman tentang Hukum Darurat yang kurang terkontrol.
Padahal dalam ajaran Islam, darurat itu ada batasannya.
Memang benar bahwa barang yang haram itu bisa menjadi halal bila dalam keadaan
yang sangat darurat, sebagaimana halnya bangkai hewan, darah ataupun daging
babi yang bisa halal dimakan bila dalam keadaan darurat (Alquran Surat
Al-Baqarah : 173). Namun dalam kasus obat-obatan sepertinya hukum darurat ini
kesannya terlalu diperlebar dan berlebihan, sehingga bahan obat apapun akan
dianggap halal tanpa kecuali, karena berlindung di balik tameng darurat. Kalau
kita menyimak prinsip hukum darurat yang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun
Hadist, sebenarnya hukum darurat itu diterapkan hanya bila dalam keadaan yang
sangat terpaksa saja. Sebagaimana juga dalam masalah dihalalkannya bangkai
hewan, yaitu bilamana minimal dalam sehari semalam (misalnya di tengah gurun
pasir) tidak menemukan makanan apapun, kecuali hanya bangkai binatang itu saja
satu-satunya. Namun mengkonsumsinya pun tidak boleh berlebihan, tapi sekedar
untuk bisa bertahan hidup. Adapun dalam hal obat-obatan resep dokter, dengan
semakin majunya bidang farmasi, maka banyak sekali variasi dan jenis
obat-obatan yang umumnya berasal dari bahan yang tidak haram. Dengan demikian
masyarakat ataupun para dokter mempunyai banyak pilihan atau alternatif dalam
menentukan jenis obat yang tepat dan rasional untuk diresepkan bagi pasiennya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pendapat islam tentang
pengobatan menggunakan zat yang haram?
2.
Apa saja contoh obat yang
menggunakan zat yang haram?
3.
Bagaimana
pendapat islam tentang pengecualian tentang pengobatan zat yang haram?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui hukum tentang
pengobatan menggunakan zat yang haram menurut pandangan islam.
2.
Untuk memenuhi tugas kuliah.
3.
Untuk mengetahui apa saja zat obat
yang haram.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengobatan
Pengobatan adalah ilmu dan seni
penyembuhan. Bidang keilmuan ini mencakup berbagai praktek perawatan kesehatan
yang secara kontinu terus berubah untuk mempertahankan dan memulihkan kesehatan
dengan cara pencegahan dan pengobatan penyakit.
Pengobatan kontemporer meliputi ilmu kesehatan, penelitian biomedis, dan
teknologi medis untuk mendiagnosa dan mengobati cedera dan penyakit, tidak
hanya melalui obat atau operasi, tetapi juga melalui terapi yang beragam
seperti psikoterapi, splints eksternal & traksi, prostesis, biologis,
radiasi pengion dan lain-lain.
Kata "Pengobatan" ini
berasal dari bahasa Latin yaitu ars medicina, yang berarti seni
penyembuhan.
Meskipun teknologi medis dan
keahlian klinis sangatlah penting untuk pengobatan kontemporer, kesuksesan
pengobatan melalui cinta dan kasih sayang, sangatlah diperlukan untuk
meringankan penderitaan, seperti perawatan Kangaroo Care. Cara pengobatan ini dikenal
dalam bahasa Inggris sebagai bedside manner.
B.
Pandapat Islam Tentang
Pengobatan Menggunakan Zat yang Haram
1. Dalil Di Syariatkanya Berobat
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (الشعراء : 80)
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, (As syu’ara :80)
Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra dari nabi saw bahwa ia besabda : " Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Dia menurunkan obat bagiya. " (HR : Bukhari )
Dan dalam riwyat Usamah bin Syarik :
" Berobatlah wahai hamba Allah, karna Allah tidak menimpakan suatu
penyakit kecuali Dia pula menjadikan obat baginya, kecuali satu peyakit, yaitu
kematian. ( HR : Bukhari dan Ahmad )
C.
Hukum Berobat
Syaikh
Aiman bin Abdul Fatah menyebutkan dalam kitabnya As syifa min wahyi khatimil
Anbiya bahwa Para ulama berberda pendapat mengenai hukum berobat :
1.
Berobat hukumnya haram, hal ini
adalah bathil karana Rasulullah saw telah memerintahkan untuk berobat
sebagaimana di jelaskan dalam sabdanya diatas.
2.
berobat tidak wajib, pendapat ini
tidak dapat di jadikan alasan. Berdasarkan riwayat Ibnu Abas.
Telah
menceritakan kepadaku Atha' bin Abi Rabah ia berkata : ibnu Abas berkata
kepadaku apakah engkau suka aku lihatkan seorang wanita penghuni surga ? aku
menjawab : ya. Ia berkata : perempuan berkulit hitam ini datang kepada Rasul
ullah saw dan berkata: aku memiliki penyakit ayan dan terkadang auratku
terbuka, maka do'akanlah kepada Allah untuku. Rasul bersabda :
“ jika engkau suka maka bersabarlah maka kelak bagimu surga dan
jika engkau suka akan aku aku akan berdo'a semoga Allah menyembuhkanmu ”.
Maka wanita itu berkata : aku lebih memilih untuk bersabar, ia
juga berkata akan tetapi aku masih tak sadar membuka auratku maka bedo'alah
kepada Allah agar aku tidak menyibak auratku. Maka Rasulullahpun mendo'akannya.
3.
Imam Syafi'I berpendapat bahwa
berobat adalah mustahab . berdasarkan hadist Ibnu Abas ra. Akan tetapi pendapat
ini di bantah karena nabi menjelaskan akan adanya pahala dan balasan bagi
seorang yang meninggalkan berobat, dan tidak tidak menetapkan adanya pahala
bagi siapa yang meniggalkan sesuatu yang di sunahkan. Maka seandainya berobat
adalah sunah maka meninggalkanya adalah makruh.
4.
Boleh. Pendapat ini lebih kuat,
inilah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Hanabilah.
5.
Mubah, barangsiapa yang pergi
untuk berobat demi ketaatan dan berangkat dari motifasi memenuhi hak yang telah
di wajibkan atas dirinya maka baginya pahala. Demikian pula bagi orang yang
meniggalkan berobat dengan penuh kesabaran, ridha atas apa yang di takdirkan
demi untuk mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah maka baginya
pahala.Pendapat yang paling rajah
Pada
asalnya hukum berobat adalah Boleh atau sunah bukan wajib. Akan tetapi dapat
berubah setatus hukumnya menjadi wajib manakala tidak ada obat lain selain
daripadanya atau berobat adalah satu-satunya jalan keluar dari sakit menurut predisksi
yang paling kuat.
D.
Macam-Macam Pengobatan
Pengobatan dibagi
menjadi dua yaitu :
1.
pengobatan yang Allah berikan
sebagai fitrah kepada manusia dan hewan, macam pengobatan ini tidak membutuhkan
pendeteksian dokter. Contohnya lapar dan haus, dingin, payah dan lain
sebagainya.
2.
pengobatan yang membutuhkan
pemikiran dan perumusan. Seperti berbagai macam penyakit yang ada atau penyakit
komplikasi yang membutuhkan perlakuan khusus dan berbagai campuran obat untuk
dapat menyembuhkanya.
Adapun
bila di tinjau dari segi hukum maka berobat juga di bagi menjadi dua;
pengobatan yang di syariatkan dan pengobatana yang di haramkan.
a.
pengobatan yang disyariatkan. Hal
ini di dapat di laksanakan dengan berbagai macam cara, diantaranya :
·
berobat dengan madu.
·
Beobat dengan susu dan kencing
unta.
·
Berobat dengan Habatus sauda
·
Berobat dengan Hijamah (berbekam )
·
Berobat dengan cendawa atau jamur
·
Berobat dengan abu
·
Berobat dengan celak
·
Berobat denga Zait (minyak)
·
Berobat dengan pacar
·
Berobat dengan Al Qur'an dari sihir.
·
Berobat dengan ruqyah.
b.
berobat dengan barang yang haram.
·
Berobat dengan babi.
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (Al Maidah : 3)
Ayat
ini menunjukan bahwa babi secara dzatnya adalah najis dan seluruh badanya
adalah najis, sedangkan setiap yang najis adalah haram serta harus di jauhi.
Abu
Muhamad mengatakan : tidak di halalkan memakan sesuatu apapun dari babi. Baik
dagingnya, lemak, kulit, urat, ingus, tulang, kepala,baian-bagian tertentu
maupun rambutnya
Adapun
babi ia lebih hina daripada anjing. Akan tetapi anjing dan babi keduanya adalah
hewan yang statusnya najis mughaladhah sehingga wajib untuk mencucinya tujuh
kali, salah satunya dengan tanah. Bila anjing di perboelhkan untuk keperluan
berburu atau menjaga ladang maka babi tidak dipebolehkan memeliharanya sama
sekali karena seluruh badanya adalah najis, oleh kerena itu Allah mengharamkan
untuk memakan babi. Dalam Qaidah ushul fiqih dikatakan : setiap yang haram
untuk mengambilnya maka haram pula untuk memberikanya. Dan setiap yang haram
untuk memakainya maka haram pula untuk mengambilnya. "
·
Berobat dengan bangka
Bangkai
adalah setiap yang hilang nyawanya tanpa di semelih secara syar'I baik ia mati
karena mati dengan sendirinya tanpa sebab anak adam atau karena perbuatan
manusia, jika hal itu disebabkan karna di sembelih dengan cara yang tidak di
perbolehkan maka semua itu adalah bangkai. Allah berfiman.
Katakanlah:
"Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor
- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang".(Al
An'am : 145)
Imam
Syafii mengatakan, ayat ini mengandung dua makna ; salah satunya bahwa tidak
ada makanan yang diharamkan kecuali apa yang di kecualikan Allah dalam ayat di
atas.
Termasuk
yang di kecualikan adalah sesuatu yang di tanyakan kepada Rasulullah tentangnya
dan ini adalah makna yang lebih utama berdasarkan hadist-hadist Rasulullah saw.
Hikmah
di haramkanya bangkai
Bangkai
memberikan bahaya karena setiap yang mati karena sakit atau karen lemah maka
dalam tubuhnya terdapat bakteri yang berikutnya ia menjadi racun.
·
Karna ia adalah hewan yang najis.
·
Dalam babi terdapat darah membeku
yang tidak dapat hilang kecuali di hilangkan kecuali dengan cara menyembelihnya
secara syar'i.
Maka
haramnya bangkai adalah hukum Allah yang sudah pasti berdasarkan ilmu dan
hikmah, dan yang memperbolehkanya adalah hukum jahiliyah yang berdasarkan hawa
nafsu. Mentaati Allah dalam keharaman bangkai adalah tauhid sedangkan mentaati
orang jahiliyah yang memperbolehkanya adalah syirik.
Dalam
hukum bangkai hanya ada dua macam yang di kecualikan, yaitu bangkai binatang
laut dan belalang. Maka kebanyakan Ahli ilmu mereka memperbolehkan untuk
memakan binatang laut baik yang masih hidup maupun yang telah mati, demikianlah
pendapat imam Malik . akan tetapi ia bertawaquf (diam ) dalam masalah babi
laut. Abu Qasim mengatakan aku menghindarinya dan tidak mengharamkanya.
Imam
Syafi'I mengatakan : Sesungguhnya Allah mengharamkan babi secara mutlak dan
mengharamkan bangkai dengan syarat tidak dalam keadaan darurat. Sedangkan
apabila dalam keadaan darurat seperti lapar yang meyebabkan kematian jika ia
tidak mengkonsumsinya maka ia diperbolehkan untuk memakanya.
Dalam
kaidah ushul fiqih dikatakan : "Apabila sutu perkara telah menjadi sempit
maka ia menjadi lapang. Dan apabila sesuatu itu telah menjadi lapang maka ia
berubah menjadi sempit " dua kaidah ini menjelaskan bahwa apabila telah
sampai derajat darurat maka setiap yang haram berubah mejadi halal dan apabila
ia telah lapang maka sesuatu tersebut berubah menjadi haram kembali.
·
Berobat Dengan Khamr
Khamr
adalah nama untuk setiap air dari anggur apabila telah mendidih dan mengental
serta buihnya mulai menghilang, demikinlah yang dikatakan oleh Abu Hanifah.
Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhamad, ia adalah air anggur yang telah
mendidih dan mengental, terkadang ia berubah menjadi merah.
Madzhab
Hanifiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat tidak diperbolehkanya meminum
khamr untuk di jadikan sebagai obat. Baik kahmr itu masih murni atau sudah di
campur.
Sedangkan
madzhab syafi'I yang juga mejadi pegangan imam At thabari bahwa diperbolehkanya
berobat dengan khamr apabila memenuhi tiga syarat :
1.
berdasarkan riset dokter.
2.
kadar khamr tersebut lebih sedikit
dengan ukuran tidak sampai memabukan dan tidak menghilangkan akal. Sehingga
tidak di perbolehkan berobat dengan sesuatu yang lebih besar dari pada itu.
3.
berdasarkan keterangan dokter
muslim karena selai muslim tidak di terima kesaksianya dalam hal kedokteran.
Adapun
sesuatu yang dapat menghilangkan akal selain minuman atau ganja maka tidak ada
tidak ada had bagi orang yang mengkonsumsinya. Sedangkan Imam Al Ghazali
mengatakan : orang yang wajib untuk di ta'zir dan di asingkan tanpa harus di
dera.
·
Berobat Dengan Sihir
Sihir
secara bahasa adalah setiap yang lembut caranya tapi mengena.
Sedangkan secara istilah Imam As sangkiti mengtakan bahwa ia tidak bisa di batasi karna banyaknya cara yang di lakukan secara sembunya-sembuyi.
Sedangkan secara istilah Imam As sangkiti mengtakan bahwa ia tidak bisa di batasi karna banyaknya cara yang di lakukan secara sembunya-sembuyi.
Allah
berfirman mengenai haramnya berobat dengan sihir :
Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di
negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir".
Maka
mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan
izin Allah.
Dan
mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa
yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. (Al Baqarah : 102)
Rasulullah
juga bersabda :
“
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau tukang sihir atau dukun kemudian
ia menanyakan tentang sesuatu, lalu ia membenarkan apa yang ia katakan maka ia
telah kafir dengan apa yang di turunkan kepada muhamad ”. (HR : Al Baihaqi dan
Al Bazzar dengan sanad jayyid).
Maka
barangsiapa yang melakukan sihir dalam berobat maka hal ini menunjukan bahwa ia
meminta bantuan kepada jin, dan mempraktekan ilmu-ilmu ghaib. Padahal hal itu
telah di haramkan Allah swt. Rasulullah juga pernah bersabda :
Barangsiapa
yang mendatangi tukang ramal dan ia menanyakan sesutu kepadanya, maka tidak di
terima shalatnya selam empat puluh malam. (HR : Muslim ).
·
Berobat dengan sutra
Diriwayatkan
dari Qatadah bahwa orang-orang membicarakan bahwa nabi saw memberikan
keringanan kepada Abdurrahman bi Auf dan Zubair dalam memakai gamis yang
terbuat dari sutra karena di sebabkan gatal yang keduanya derita.
Pada
hadist di atas terdapat dua pelajaran; pertama hukum fiqih kedua tentang
berobat denganya.
1. Hukum fiqih, yaitu bahwa nabi memperbolehkan sutra bagi laki-laki
secara mutlaq dan mengharamkan kepada laki-laki kecuali untuk kemasalahatan
atau kebutuhan yang sangat mendesak. Seperti karena sangat dingin, sutra yang
di pakai orang yang sedang sakit gatal atau kutu.
2. dari sisi pengobatan, sutra adalah salah satu obat yang bahan bakunya
dari hewan. Oleh karena itu ia memiliki banyak manfaat dalam mengobati berbagai
macam penyakit. Selain itu bila pakain dari kapas ia bersifat dingin dan lembab
dan pakaian dari wol bersifat panas, maka pakain yang terbuat dari sutra
memiliki sifat lebih lembut dan hangat daripada kapas.
3. Berobat dengan sesuatu yang berbahaya
Dalam
hal ini sering kita dapatkan macam obat-obatan yang menggunakan sesuatu yang
berbahaya seperti Alkohol, angin panas, barang najis atau yang lainya dari
hal-hal yang di haramkan oleh syari'at baik yang bentuknya cair atau tablet,
padalah itu semua sangat di butuhkan dalam pengobatan.
1. Apabila tidak di dapatkan ganti (obat lain yang halal).
Apabila tidak di
dapatkan obat yang lain kecuali obat tersebut maka boleh untuk menggunakanya,
dengan melih pada bahaya sakit tersebut.
2. Apabila di dapatkan pengganti dari obat tersebut atau belum sampai
derajat darurat.
Maka
dalam keadaan seperti ini perlu di deteksi kembali, apabila bahan yang haram
tersebut sudah larut atau hencur bersama bahan yang lain dan tidak ada bekas
yang di timbulkanya baik rasa maupun baunya maka obat ini dapat di gunakan/
dikonsumsi.
Dari
sini dapat di simpulakan, bahwa menurut para ulama bahwa apabila najis atau
sesuatu yang menjijikan serta seluruh barang haram seprti Al kohol atau lainya
apabila bercampur dengan obat-obat yang diperbolehkan atau dimasak bersam obat
yang halal kemudian bahan yang haram atau najis ini hancur dengan tidak
meninggalkan bekas, rasa maupun baunya, maka dalam keadaan ini ia sama seperti
obat yang diperbolehkan lainya.
Namun
jika tidak dapat hancur atau masih ia lebih dominan daripada obat yang
diperboehkan maka ia menjadi obat yang haram, ia hanya dapat di gunakan apabila
sudah dalam keadaan darurat.
·
Berobat Menggunakan Bius Dalam
Pengobatan Bedah.
Menggunakan
obat yang dapat menghilangkan kesadaran untuk sementara waktu dalam pengobatan
luka atau bedah di perbolehkan, karna hilangnya kesadaran dalam keadaan ini
tidak sama dengan seorang yang hilang akal karena mabuk. Tapi ia masuk dalam
keadaan darurat dan darurat bertingkat dengan kadar daruratnya.
·
Amputasi
Diperbolehkan
untuk melakukan amputasi bila hal itu di perlukan jika di kahwatirkan racun
atau infeksi yang ada akan menular. Bahkan menurut Ibnu Hazm diperbolehkan pula
dilakukan tanpa melalui izin si sakit apabila hal itu sangat di perlukan.
·
Mengambil anggota salah satu anggota
tubuh untuk menambal anggota tubuh yang lain.
Dalam
madzhab syafii, Abu Ishaq As sirazi mengatakan : jika orang yang sudah tedesak
terpaska memotong bagian dari tubuhnya sendiri baik bagian paha atau lainya
untuk di makan maka hal ini diharamkan tanpa adanya perselisihan. Namun menurut
Abu Ali At thabari dan pendapat ini di sahkan oleh Ar rafi'I, di perbolehkan
untuk melakukan hal itu dengan syarat tidak di dapat selain daripadanya.
Maka
dapat kita fahami bahwa bagi orang yang sudah dalam keadaan darurat ia
diperbolehkan untuk memotong anggota tubuhnya untuk di makan jika di khawatikan
apabila ia tidak melakukanya ia akan mati.
Dari ini pula bisa kita fahami akan bolehnya mencangkok bagian tubuhnya yang tidak membahayakanya untuk menambal bagian yang lain.
Dari ini pula bisa kita fahami akan bolehnya mencangkok bagian tubuhnya yang tidak membahayakanya untuk menambal bagian yang lain.
Semua
binatang yang diharamkan sebagaimana tersebut di atas, adalah berlaku ketika
dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya
tersendiri, yaitu Halal.
Firman
Allah:
"Allah
telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali
kamu dalam keadaan terpaksa." (al-An'am: 119)
Dan di
ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan
sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
"Barangsiapa
terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa
atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih."
(al-Baqarah: 173)
Darurat
yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan,
karena ditahan oleh kelaparan. Sementara ulama memberikan batas darurat itu
berjalan sehari-semalam, sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali
barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai
dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Imam
Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekedar kenyang, dan boleh menyimpannya
sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli
fiqih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekedar dapat
mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali
di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala
'adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan
ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi
keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala 'adin, yaitu: Tidak
melewati batas ketentuan darurat. Sedang apa yang dimaksud dengan daruratnya
lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia
mengatakan:
"Dan
barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk
berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.
" (al-Maidah: 3)
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu
penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu. Dalam hal
ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat,
berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya
makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu
dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)
Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti
itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan,
dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan
hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena
berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan
perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair
bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut,
padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.
Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa
Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan
dan rekomendasinya.
Tetapi perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram
itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Terdapat bahaya yang mengancam
kehidupan manusia jika tidak berobat.
2.
Tidak ada obat lain yang halal
sebagai ganti Obat yang haram itu.
3.
Adanya suatu pernyataan dari
seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya
(i'tikad baiknya).
Dampak Negatif Minuman Ber-alkohol Pernyataan WHO no. 650
tahun 1980 M tentang alkohol dan problem-problem yang ditimbulkannya,
Sesungguhnya mengkonsumsi minuman keras berdampak negatif terhadap kesehatan
serta mengakibatkan timbulnya berbagai problem yang lebih berat daripada
problem-problem yang ditimbulkan oleh opium, ganja, kokain, dan semua yang
disebut sebagai narkotika.
Dampak-dampak negatif pengkonsumsian alkohol terlalu banyak
untuk dihitung. Beberapa riset ilmiah juga membuktikan dampak-dampak negatif
minuman keras terhadap hati, seks, penyakit-penyakit kewanitaan, sistem air
kencing, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernafasan,
kelenjar-kelenjar endokrin, metabolisme, dan kelenjar-kelenjar seks. Benarlah
sabda Rosululloh ketika bersabda, ia bukan obat, melainkan penyakit.
Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui,
dari realita yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercava,
bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti
obat. Tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekedar ikhtiyat'
(bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang
kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali
yang haram.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Segala
puji bagi Allah rab semesta Allah, shalawat dan salam kepda Rasulullah Muhamad
saw. Amma
ba'du : teman teman yang budiman, inilah makalah singkat yang dapat kami tulis
pada kesempatan kali ini, sebetulnya pembahasan ini sangat luas dan senantiasa
berkembang dari tahun ke tahun. Tapi semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat
bagi kami dan umat islam lainnya. Tidak lupa saran dan keritik membangun dari
saudara/i senantias kami harapkan untuk menuju kesempurnaan dari makalah ini.
Wallahu A'alm.
B.
Saran
Tidak
lupa saran dan keritik membangun dari saudara/i senantias kami harapkan untuk
menuju kesempurnaan dari makalah ini. Wallahu A'alm.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz bin Abdul latif, Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal Amaliyah,
Darul Wathan, cet. II, 1415 H.
Dr. Abdul Karim Zaidan, Al Mufashal fie Ahkamil Mar'ah, Muasasah
Ar risalah cet I, th 1993 M Bairut.
Dr. Muhamad Shadiqi bin Ahmad bin
Muhamad Al Burnau Abil Harist Al Ghazi, Al
wajiz fie Iedzahi Qawaid Al fiqhiyah, muasasah Ar risalah, cet IV th.1996
M. birut libanon.
Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, cet.I
1989 M. Darul Kutub Al
Ilmiyah, Bairut. Aiman bin Abdul fatah, Pegobatan dan
penyembuhan menurut wahyu nabi, cet I. Jakarta.
Ibnu,
Al Muhalla, Darul Jael.
Syaikh
Abdul Aziz Bin Baz, Hukmu Sihr Wal
Kihanah , cet II
http://imutokthajohansyah.blogspot.co.id/p/blog-page.html
0 Response to "Makalah Pengobatan Menggunakan Zat yang Haram"
Post a Comment